Rabu, 24 Desember 2008

AGAMA, KEMERDEKAAN DAN CITA-CITA BANGSA

Oleh M.Muhtadin
INDONESIA sebuah bangsa dan negara, sudah enam puluh tiga tahun Indonesia merdeka. Sebuah rentang waktu yang pada dasarnya masih tidak terlalu panjang untuk membangun sebuah negara yang berbasiskan pada prinsip dan nilai demokrasi. Karenanya, tugas yang berada di pundak kita, serta tantangan yang menanti di masa depan, masih sangatlah berat.Diperlukan bukan hanya usaha keras untuk menggapai semua cita-cita itu, tapi juga komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-kebudayaan maupun juga pada aspek keagamaan.Bidang yang disebut terakhir ini juga memegang peranan yang tidak dapat dimarginalkan, sebab kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan negara yang plural dalam hal anutan agamanya merupakan potensi sekaligus tantangan yang berat. Fenomena keagamaan yang berkembang belakangan ini, setidaknya memberikan gambaran konkret tentang hal itu. Tulisan ini mencoba memberikan sebuah refleksi serta deskripsi seputar aspek keagamaan di Indonesia, yang kiranya bisa menjadi bahan ilustrasi tentang tantangan dan peran keagamaan yang strategis untuk diimplementasikan di negara kita ini.Jika kita menengok pada sejarah berbagai agama, tampak jelas bagaimana agama tampil sebagai 'pahlawan' bagi elemen masyarakat yang pada kurun waktu itu menjadi korban berlakunya sistem yang despotik, diskrimainatif dan otoriter. Agama tampil sebagai 'pejuang' bagi kemerdekaan kelompok masyarakat yang tertindas oleh struktur yang demikian. Baik itu struktur politik, sosial-budaya serta ekonomi. Sejarah agama Yahudi, membuktikan kepada kita bagaimana NabiMusa tampil sebagai penentang keras penguasa despotic Firaun, dengan tawarannya berupa sebuah konsep keagamaan. Nabi Isa juga menjadi pahlawan perlawanan rakyat kecil terhadap penguasa yangsemena-mena di kala itu. Demikian juga halnya dengan perjuangan Nabi Muhammad dengan konsep keislamannya, yang dengan gemilang berhasil meruntuhkan sistem politis, sosial-kultur, dan ekonomi masyarakat Arab yang diskriminatif. Fenomena yang sama dapat juga kita rujuk pada agama-agama yang lain. Jika ditarik pada konteks era modern saat ini, posisi agama pada saat kelahirannya ibarat sebuah kekuatan serta gerakan sosial yang berada 'di seberang' status quo, yang memiliki orientasi utama pada perjuangan prinsip serta nilai keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan.Dengan konsep yang diusungnya, agama memainkan peran apik sebagai sebuah kekuatan yang akhirnya mampu menumbangkan sistem politik serta struktur sosial yang sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan tersebut. Kala itu, agama benar-benar berhasil menjelma menjadi kekuatan strategis yang sangat ditakuti oleh mereka yang menikmati serta menguasai sistem serta struktur politik, sosial-budaya dan ekonomi yang diskriminatif. Karenanya, kelahiran serta perkembangan agama selalu mendapatkan perlawanan keras nan sengit dari penguasa status quo. Mereka berupaya aktif untuk meredam perlawanan sosial, politis dan kultural yang basis perjuangannya dikobarkan oleh semangat keagamaan.Konsep MuliaSejarah panjang kelahiran dan perkembangan agama ini membuktikan kepada kita bahwa agama pada dasarnya memiliki sebuah konsep yang sangat mulia, strategis, dan vital. Yaitu konsep untuk membangun serta mencapai sebuah sistem, struktur serta realitas sosial yang berdasarkan pada prinsip dan nilai keadilan, kesetaraan serta kebebasan. Dan, jika sejarah agama-agama ini kita tarik dalam konteks dunia modern dewasa ini, kita akan mendapatkan pelajaran penting perihal fungsi serta peran dasar dari agama. Di era modern saat ini, dengan prinsip politik demokrasi, hal-hal yang berkenaan dengan upaya memberikan jaminan kebebasan untuk berekspresi, kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, serta kesetaraan kultural, menjadi tugas negara untuk merealisasikannya. Termasuk dalam hal ini adalah jaminan yang terkait dengan persoalan memilih, menganut serta mengekspresikan keyakinan keagamaan. Negara, memiliki kewajiban penuh atas hal itu. Namun, secara faktual, tugas serta peranan tersebut terkadang tidak dapat dimainkan dengan maksimal. Bahkan sebaliknya, dalam kasus dan kondisi tertentu, peran dan fungsi negara justru berbanding terbalik dengan yang seharusnya dijalankan. Negara tidak mampu menjamin kesejahteraan ekonomi rakyatnya, tidak mampu menciptakan jaminan keadilan sosial, dan bahkan juga tidak mampu memberikan jaminan kebebasan bereks- presi.Tentu banyak hal yang dapat melatarbelakangi terciptanya kondisi demikian. Mungkin saja karena karakter kepemimpinan politiknya, kinerja pemerintahannya atau juga kondisi sebuah bangsa yang masih dalam tahap membangun dan menjalani proses berdemokrasi.Apapun latar belakang penyebabnya, dalam kondisi seperti itu, dengan mengacu pada sejarah kelahiran serta perjuangannya, posisi dan peranan agama seharusnya sangat strategis dan vital. Kondisi di mana negara tidak atau belum mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan optimal, adalah saat di mana agama seharusnya mampu memainkan peranan sebagai kekuatan 'alternatif'. Kekuatan alternatif yang dimaksud di sini dalam kerangka pengertian berikut ini. Pertama, agama mengemban tanggung jawab untuk membantu rakyat memperjuangkan hak-hak kewarganegarannya. Jika negara tidak menjalankan fungsinya untuk menciptakan sebuah sistem yang mencerminkan terimplementasikannya prinsip keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi serta kesetaraan kultural, maka agama (wan) memiliki tanggung jawab untuk membantu rakyat mendapatkan hal itu.Misalnya dengan cara mengintensifkan gerakan penyadaran masyarakat dengan tujuan utama menciptakan sebuah masyarakat yang kritis terhadap realisasi kewajiban negara atas rakyatnya. Agama (wan) dalam kondisi seperti itu, memanggul tanggung jawab untuk menjadi kekuatan 'penyeimbang' atas negara.Terutama jika negara menjalankan sebuah sistem politik dan kenegaraan yang otoriter dan despotik. Agama, memiliki tugas untuk menyadarkan masyarakat akan \kondisi seperti itu, sehingga mereka memiliki motivasi yang kuat untuk merubah kondisi serta mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya. Sebagaimana halnya pada masa awal kelahirannya, agama mampu memainkan peran apik sebagai motivator perubahan dan pencipta masyarakat kritis, dalam kondisi seperti ini agama juga dituntut untuk berperan demikian. Termasuk dalam hal ini adalah tanggung jawab agama (wan) untuk mencegah dilakukan intervensi oleh negara terhadap kebebasan rakyat dalam menganut dan mengekspresikan keyakinan agamanya. Agama (wan) memanggul tugas ini.Kedua, tatkala negara tidak mampu menjalankan fungsi serta merealisasikan perannya secara optimal, atau bahkan mandul, agama memiliki tanggung jawab untuk tampil menjadi kekuatan 'alternatif' untuk merealisasikan cita-cita kebangsaan. Sebenarnya ini bukan peran yang muluk dan sulit diwujudkan, jika saja interpretasi konsep keagamaan diarahkan pada orientasi ini.Tidak hanya terpaku pada orientasi yang bersifat normatif, konservatif, dan formalistik-ritualistik. Dan jika kita mengacu pada sejarah kelahirannya, orientasi ke arah inilah yang sebenarnya menjadi dasar tumbuh dan berkembangnya semua agama.Agama bukan hanya konsep tentang bagaimana cara manusia menyembah Tuhannya secara ritual, tapi lebih dari itu, yaitu bagaimana para penganutnya mampu mentransformasikan kesalehan ritualnya menjadi kesalehan sosial. Agama adalah sebuah tawaran konseptual bagaimana seorang individu mampu tampil dengan karakter kuatnya untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, kebebasan dan egalitarianisme dalam realitas dimana ia hidup.Selain itu, agama juga tidak sekadar mengarahkan penganutnya pada orientasi transcendental, namun juga imanental. Artinya, agama tidak memfokuskan para penganutnya pada aspek ritual-formalistik, namun juga aspek materiil. Agama memerintahkan para penganutnya untuk meraih kesejahteraan ekonomi. Jika fungsi dan peran agama yang demikian mampu dijalankan, maka tidak optimalnya peran dan fungsi negara dapat tergantikan.Mencapai Cita-citaKetiga, dalam sebuah negara-bangsa yang sedang menjalani proses membangun dan berdemokrasi, agama dapat memainkan peran untuk membantu serta mendorong tercapainya cita-cita tersebut. Agama, dalam hal ini dapat memainkan peran serta menjalankan fungsi sebagai 'kekuatan lain' selain negara, dalam mewujudkan cita-cita serta tujuan kenegaraan-kebangsaan.Di usia yang keenam puluh tiga tahun ini, Indonesia sebenarnya memiliki banyak fenomena yang penting untuk direfleksikan sebagai bahan dasar menata masa depan bangsa dan negara ini. Termasuk dalam aspek keagamaan. Optimalisasi peran dan fungsi keagamaan, sebenarnya sangat strategis dalam membantu upaya meraih cita-cita kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Eksistensi kita sebagai bangsa yang bukan hanya besar, namun juga plural, adalah potensi yang sangat berharga. Pluralitas Indonesia dalam aspek keagamaan, adalah salah satunya. Jika potensi keagamaan ini dioptimalkan fungsi dan perannya, maka niscaya bangsa ini akan tampil sebagai yang terdepan. Peran agama di Indonesia harus mampu mencapai taraf yang sangat optimal dalam membantu bangsa ini menggapai cita-cita dan stujuan kemerdekaannya. ** Penulis adalah Sekretaris Umum KPM Galuh Rahayu Ciamis-Jogjakarta

Selasa, 02 Desember 2008

HIKMAH IDUL FITRI


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H
HIKMAH IDUL FITRI UNTUK KEMBALI KE HAKIKAT FITRAH

Oleh : M.Muhtadin*
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(Q.S. Ar-Ruum ayat 30)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar….
Allahu Akbar Lailahaillallah huwllahu akbar Allahu Akbar Walillahilhamd…
Dengan bacaan kalimah takbir,tahmid,dan tahlil umat Islam melepaskan bulan Ramadan yang penuh kemulyaan dan dengan takbir, tahmid, dan tahlil pula kita sambut 1 Syawal 1429 H.
Seiring terbenamnya mentari di akhir romadhon, terdengar bertalu-talu alunan takbir, tahmid, dan tahlil yang bergema keseluruh pelosok negeri sebagai ekspresi rasa syukur,dan memuji keagungan Allah SWT. dan kegembiraan kaum muslimin dengan datangnya Idul Fitri. Hari dimana ummat Islam yang telah melaksanakan puasa dibulan romadhon dengan penuh kekhusukan menemukan ampunan dan janji Allah SWT, kembali kepada sebuah kesucian dan karenanya hari itu pun disebut dengan hari Raya Idul Fitri.
Idul fitri adalah hari kemenangan besar, yang mengembalikan manusia pada fitrahnya (kesucianya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan. Serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat. Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan.
Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadhan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas, termasuk bangsa dan negara.
Memaknai Hakikat Idul Fitri
Memaknai esensi Idul Fitri, sebenarnya bisa diimplementasikan dalam bentuk perenungan kembali akan kondisi yang telah diberikan Alloh SWT kepada ummat manusia. Karenanya, memaknai idul fitri sebanarnya tidak lain adalah seberapa jauh kita mampu menghadirkan hikmah, suatu tata nilai rohani positif yang tersembunyi dibalik ketaatan dalam kehidupan rutin kita yang ditemukan dari balik proses pelaksanaan perintah puasa yang sebulan penuh itu, karena hikmah itu sendiri merupakan rahasia yang diberikan oleh Allah setelah adanya Mujahadah maka tentunya hikmah itu akan berbeda bentuknya antara satu individu dengan individu yang lainnya.
Idul Fitri kembalinya manusi pada fitrahnya
Idul Fitri mengingatkan kembali kepada kita bahwa tiap individu dilahirkan dalam keadaan Fitrah atau suci, namun dalam perjalanan hidupnya ia dicemari oleh lingkungan serta berbagai macam polusi, noda dan dosa. Islam mengajarkan pula bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar yang baik, oleh karena itu kebaikan dan kebenaran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jati diri manusia.
Setelah sebulan penuh jiwa kita ditempa dan diasah, seyogianyalah ketika kita merayakan Idul Fitri, kita dapat meraih hasil yang menggembirakan berupa kadar takwa yang lebih mendalam. Karena sesungguhnya semangat Idul Fitri ini tidak lain hanyalah konsekuensi takwa kita kepada Allah Yang Maha Agung.
Berhari raya Idul Fitri, bukan saja merupakan perayaan rampungnya suatu tugas suci yang mahabesar yang dilaksanakan pada bulan Ramadan. Berhari raya, juga berarti merayakan kembalinya sifat kemanusiaan yang setinggi-tingginya. Rasa cinta kasih, menahan marah dan bersifat pemaaf, harus menghiasi jiwa yang merayakannya. Sikap batin inilah yang merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang ditetapkan oleh Allah terhadap sifat asal manusia, sesuai dengan gambaran dalam Qur’an surat Ar-ruum ayat 30
Idul Fitri Momentum untuk saling bermaaf-maafan.
Momentum Idul Fiti inilah mari kita jadikan untuk bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga, dan warga masyarakat, dengan saling memaafkan, dimana pemaafan mengandung tiga dimensi dan langkah penting:
Pertama, pemaafan hendaknya dimulai dengan ingatan yang disertai penilaian moral. Dalam persepsi umum, pemaafan cenderung dipahami sebagai melupakan kesalahan dan kejahatan individu atau kelompok. Sebenarnya pemaafan berarti "mengingat" dan sekaligus memaafkan. Dalam islam, proses ini disebut muhasabah, yakni saling "menghitung" atau "menimbang" peristiwa-peristiwa yang melukai pihak-pihak tertentu. Melalui muhasabah, berbagai pihak melakukan introspeksi dan sekaligus penilaian moral terhadap kejadian-kejadian yang merugikan perorangan maupun masyarakat banyak.
Kedua, mengembangkan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan pelaku kesalahan; bahwa setiap manusia biasa dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang merugikan orang lain. Tidak ada jaminan, seseorang tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang mendorong pemaafan.
Sikap empati sangat dianjurkan Islam. Meski Alquran menyatakan, manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk (fi ahsan al-taqwim), tetapi ia bisa terjerumus ke dalam asfal al-safilin, tempat paling nista, karena perbuatannya sendiri. Karena kelemahan ini manusia diperintahkan senantiasa meningkatkan kualitas iman dan amal salehnya; selalu memohon ampun kepada Tuhan; dan meminta maaf kepada orang lain yang dilukainya. Sebaliknya, mereka yang disakiti juga dianjurkan memberi maaf.
Ketiga, mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan yang tulus bertujuan memperbarui hubungan antar manusia. Jadi, pemaafan bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, tetapi juga bertujuan untuk perbaikan (ishlah) hubungan antarmanusia yang bisa diselimuti kebencian dan dendam. Dengan kandungan mulia ini, pemaafan juga berarti kesiapan hidup berdampingan secara damai di antara manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.
Demikianlah, pemaafan yang menjadi bagian integral dari esensi Idul Fitri sepatutnya tidak hanya saling berjabat tangan; tetapi menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus semua elemen pribadi, keluarga, tetangga, dan warga masyarakat.
Untuk itu melalui Idul Fitri 1429 H ini , kita tabur benih kedamaian, kita tanam pohon kasih sayang, dan kita kibarkan bendera salam. Antara kita, antar sesama muslim,sesama saudara, keluarga, tetangga, antar sesama warga negara sehingga islah, rekonsiliasi, dan perdamaian benar-benar terwujud di bumi pertiwi ini.
*Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Hasan Ciamis-Jabar, Mahasiswa Fak. Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Rabu, 24 September 2008

WILUJENG BOBORAN SIAM 1429 H

Assalaau’alaikum Wr. Wb.
Cunduk kana waktu, ninggang kana mangsa
Urang bakal papisah jeung bulan anu pinuh barokah
Pajauh jeung tamu agung nu langka tepung
Paanggang jeung mangsa anu pinuh ampunan
Ayeuna urang patepung jeung akhir syiam
Bulan syawal 1429 Hijriah
Mangrupakeun ciri pikeun kauunggulan jalma nu iman
Unggul dina merangan hawa nafsuna
Diwiwitan ku niat nu buleud
Seja ibadah kanu Maha Kawasa
Dipungkas ku zakat jeung sholat ‘Idul Fitri
Pikeun nyampurnakeun bersihna diri
Silih hampura geus jadi cirri
Silih do’akeun geus jadi adat
Sanajan raga paanggang, teu bisa amprok dampal panangan
Ngan saukur bisa ngirim surat, chating jeung SMSsan
Kalayan dibarengan ku kaihlasan, neda dihapunten samudaya kalepatan
“Taqobalallohu mina wa minkum syiamana wa syiamakum”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kamis, 11 September 2008

ARAH PERJUANGAN DAN PERAN IDEAL MAHASISWA

OLEH : M.MUHTADIN *

Polemik dan diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan. Masalah ini memang menyedot perhatian berbagai kalangan terutama mahasiswa itu sen-diri. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan ge- rakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Mahasiswa merupakan suatu elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya tidak banyak, namun sejarah menunjukkan bahwa dinamika bangsa ini tidak lepas dari peran mahasiswa. Semangat-semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk melakukan peruba-han-perubahan atas keadaan yang dianggapnya tidak adil. Mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati kecilnya akan selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, bangsa dan negaranya.
Mahasiswa senantiasa menjadi motor penggerak perubahan. Keinginan yang kuat dalam menyongsong masa depan dan keterbukaannya melihat beragam sisi kehidupan, mendorong mahasiswa bangkit dari tiap keterpurukan. Kecekatan bekerja dan kekritisan berfikir yang disertai rasa tanggung jawab, menjadi penyejuk bagi zaman yang kian “edan”. Tak berlebihan jika istilah “pemuda adalah tulang punggung bangsa” selalu jadi pedoman. Dengan kombinasi luar biasa yang dimilikinya, mahasiswa mampu tampil di depan memegang kendali sebuah peradaban.

Peran moral
Mahasiswa yang dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar . Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura - hura dan kesenangan) maka berarti telah berada persimpangan jalan . Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka de-ngan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang peruban di negeri ini, jika hari ini mahasiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan kompetisi (entertaiment) dengan alasan kreativitas, dibanding memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan kreativitasnya pada hal - hal yang lebih ilmiah dan menyentuh kerakyat maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang “yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.

Peran sosial
Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombo-ngan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan dibiarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya.
Peran akademik
Peran yang satu ini teramat sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan komonitas yang lain, peran ini menjadi symbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita. Jika memang kegagalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit,”nasi sudah jadi bubur” maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi “ bubur ayam spesial “. Artinya jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit serta mancari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah dunia dan akhirat.

Peran politik
Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presser group ( group penekan ) bagi pemerintah yang zalim. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa ordebaru dimana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung dicap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Pemerintahan Orba tidak segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang yang kritis dan berseberangan de-ngan kebijakan pemerintah.
Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyaan pada diri kita yang memegang label Mahasiswa. Kini zaman menghadapkan kita pada beragam persoalan yang kian kompleks. Bangsa ini tak membutuhkan manusia yang bermental pekerja. Bangsa ini tak memerlukan manusia-manusia robot yang hanya tunduk perintah sang bos tanpa memiliki kreativitas mengembangkan diri dalam memba-ngun masyarakatnya. Bangsa ini membutuhkan pemikir dan pemimpin yang peduli dan memiliki integritas. Sudah seharusnya mahasiswa memiliki pemahaman persoalan bangsa dan memiliki kadar intelektual yang bisa diandalkan. Saatnya mahasiswa maju, singsingkan lengan baju. Hilangkan fanatisme kepentingan kelompok maupun individu. Mahasiswa mesti mengedepankan persatuan demi sebuah perubahan. Kalau bukan kepada mahasiswa, kepada siapa lagi rakyat berharap?

*Penulis Sekretaris Umum KPM Galuh Rahayu Ciamis-Jogjakarta