Selasa, 02 Desember 2008

HIKMAH IDUL FITRI


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H
HIKMAH IDUL FITRI UNTUK KEMBALI KE HAKIKAT FITRAH

Oleh : M.Muhtadin*
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(Q.S. Ar-Ruum ayat 30)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar….
Allahu Akbar Lailahaillallah huwllahu akbar Allahu Akbar Walillahilhamd…
Dengan bacaan kalimah takbir,tahmid,dan tahlil umat Islam melepaskan bulan Ramadan yang penuh kemulyaan dan dengan takbir, tahmid, dan tahlil pula kita sambut 1 Syawal 1429 H.
Seiring terbenamnya mentari di akhir romadhon, terdengar bertalu-talu alunan takbir, tahmid, dan tahlil yang bergema keseluruh pelosok negeri sebagai ekspresi rasa syukur,dan memuji keagungan Allah SWT. dan kegembiraan kaum muslimin dengan datangnya Idul Fitri. Hari dimana ummat Islam yang telah melaksanakan puasa dibulan romadhon dengan penuh kekhusukan menemukan ampunan dan janji Allah SWT, kembali kepada sebuah kesucian dan karenanya hari itu pun disebut dengan hari Raya Idul Fitri.
Idul fitri adalah hari kemenangan besar, yang mengembalikan manusia pada fitrahnya (kesucianya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan. Serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat. Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan.
Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadhan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas, termasuk bangsa dan negara.
Memaknai Hakikat Idul Fitri
Memaknai esensi Idul Fitri, sebenarnya bisa diimplementasikan dalam bentuk perenungan kembali akan kondisi yang telah diberikan Alloh SWT kepada ummat manusia. Karenanya, memaknai idul fitri sebanarnya tidak lain adalah seberapa jauh kita mampu menghadirkan hikmah, suatu tata nilai rohani positif yang tersembunyi dibalik ketaatan dalam kehidupan rutin kita yang ditemukan dari balik proses pelaksanaan perintah puasa yang sebulan penuh itu, karena hikmah itu sendiri merupakan rahasia yang diberikan oleh Allah setelah adanya Mujahadah maka tentunya hikmah itu akan berbeda bentuknya antara satu individu dengan individu yang lainnya.
Idul Fitri kembalinya manusi pada fitrahnya
Idul Fitri mengingatkan kembali kepada kita bahwa tiap individu dilahirkan dalam keadaan Fitrah atau suci, namun dalam perjalanan hidupnya ia dicemari oleh lingkungan serta berbagai macam polusi, noda dan dosa. Islam mengajarkan pula bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar yang baik, oleh karena itu kebaikan dan kebenaran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jati diri manusia.
Setelah sebulan penuh jiwa kita ditempa dan diasah, seyogianyalah ketika kita merayakan Idul Fitri, kita dapat meraih hasil yang menggembirakan berupa kadar takwa yang lebih mendalam. Karena sesungguhnya semangat Idul Fitri ini tidak lain hanyalah konsekuensi takwa kita kepada Allah Yang Maha Agung.
Berhari raya Idul Fitri, bukan saja merupakan perayaan rampungnya suatu tugas suci yang mahabesar yang dilaksanakan pada bulan Ramadan. Berhari raya, juga berarti merayakan kembalinya sifat kemanusiaan yang setinggi-tingginya. Rasa cinta kasih, menahan marah dan bersifat pemaaf, harus menghiasi jiwa yang merayakannya. Sikap batin inilah yang merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang ditetapkan oleh Allah terhadap sifat asal manusia, sesuai dengan gambaran dalam Qur’an surat Ar-ruum ayat 30
Idul Fitri Momentum untuk saling bermaaf-maafan.
Momentum Idul Fiti inilah mari kita jadikan untuk bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga, dan warga masyarakat, dengan saling memaafkan, dimana pemaafan mengandung tiga dimensi dan langkah penting:
Pertama, pemaafan hendaknya dimulai dengan ingatan yang disertai penilaian moral. Dalam persepsi umum, pemaafan cenderung dipahami sebagai melupakan kesalahan dan kejahatan individu atau kelompok. Sebenarnya pemaafan berarti "mengingat" dan sekaligus memaafkan. Dalam islam, proses ini disebut muhasabah, yakni saling "menghitung" atau "menimbang" peristiwa-peristiwa yang melukai pihak-pihak tertentu. Melalui muhasabah, berbagai pihak melakukan introspeksi dan sekaligus penilaian moral terhadap kejadian-kejadian yang merugikan perorangan maupun masyarakat banyak.
Kedua, mengembangkan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan pelaku kesalahan; bahwa setiap manusia biasa dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang merugikan orang lain. Tidak ada jaminan, seseorang tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang mendorong pemaafan.
Sikap empati sangat dianjurkan Islam. Meski Alquran menyatakan, manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk (fi ahsan al-taqwim), tetapi ia bisa terjerumus ke dalam asfal al-safilin, tempat paling nista, karena perbuatannya sendiri. Karena kelemahan ini manusia diperintahkan senantiasa meningkatkan kualitas iman dan amal salehnya; selalu memohon ampun kepada Tuhan; dan meminta maaf kepada orang lain yang dilukainya. Sebaliknya, mereka yang disakiti juga dianjurkan memberi maaf.
Ketiga, mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan yang tulus bertujuan memperbarui hubungan antar manusia. Jadi, pemaafan bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, tetapi juga bertujuan untuk perbaikan (ishlah) hubungan antarmanusia yang bisa diselimuti kebencian dan dendam. Dengan kandungan mulia ini, pemaafan juga berarti kesiapan hidup berdampingan secara damai di antara manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.
Demikianlah, pemaafan yang menjadi bagian integral dari esensi Idul Fitri sepatutnya tidak hanya saling berjabat tangan; tetapi menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus semua elemen pribadi, keluarga, tetangga, dan warga masyarakat.
Untuk itu melalui Idul Fitri 1429 H ini , kita tabur benih kedamaian, kita tanam pohon kasih sayang, dan kita kibarkan bendera salam. Antara kita, antar sesama muslim,sesama saudara, keluarga, tetangga, antar sesama warga negara sehingga islah, rekonsiliasi, dan perdamaian benar-benar terwujud di bumi pertiwi ini.
*Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Hasan Ciamis-Jabar, Mahasiswa Fak. Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta